Jumat, 06 Mei 2016

Cerpen Tema Generasi Penerus Bangsa

CiKa Sang GePeBa

Oleh : Yuniar Arij Puspita Ningrum

Disebuah desa Jendral hiduplah keluarga yang rukun dan damai. Mereka hidup dengan penuh kecukupan, sebut saja keluarga pak No. Pak No mempunyai istri yang bernama bu Ry, beliau bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan pak No bekerja sebagai PNS di suatu Kantor. Kedua pasangan tersebut mempunyai dua orang anak bernama Ci (perempuan) dan Ka (laki-laki). Ci masih duduk di bangku SDN kelas IV, sedangkan Ka duduk di bangku SDN kelas V. Mereka bersekolah di SDN Jendral 8. Mereka selalu berangkat sekolah bersama-sama, menaiki sepeda. Di sekolah mereka tergolong anak yang biasa saja, tidak pintar dan tidak bodoh.
Suatu hari, di desa Jendral, angin berhembus sejuk, sinar jingga mulai menampakkan dirinya, dan kicau burung yang mendamaikan hati, tepatnya di sebuah rumah terdengar suara kesibukan.
“Kakak! Adik! Cepat bangun, kalian tidak mau terlambat, bukan?” Teriak bu Ry dari bilik Dapur.
“Iya, bu.” Jawab kakak adik serentak, serasa telah diberi aba-aba untuk menjawab.
Mereka pun segera menuju ruang makan dengan seragam yang sudah rapi.
“Bapak, kemana Bu? Kok nggk ikut sarapan bareng kita?” Tanya Ci sembari mau duduk.
“Bapak kan sibuk Ci.” Jawab Ka yang sudah duduk di kursi.
“Sibuk ngapain, Kak?”
“Ya, sibuk kerja untuk mencari nafkah lah, Ci.”
“Kasihan ya Bapak pagi-pagi buta sudah harus berangkat. Sedangkan kita masih tidur cantik ganteng” menjawab dengan sedikit bergurau.
“Iya, Nak. Oleh sebab itu kalian harus rajin-rajin belajar.” Nasehat ibu kepada kedua anak kesayangannya tersebut.
“Iya, Ibuku tercinta.” Sahut kedua anak kesayangannya.
Setelah selesai sarapan, mereka bersiap-siap berangkat ke sekolah, tidak lupa berpamitan pada ibu tercinta (Bu Ry). Selama  perjalanan menuju ke sekolah, terlihat godaan sawah yang membentang hijau menyejukkan hati. Hari-hari mereka lewati dengan penuh kesehatan. Sesampainya di SDN Jendral 8, mereka segara menuju kelas masing-masing. Bukan untuk memulai berbincang-bincang dengan teman sekelasnya, melainkan mempelajari materi yang akan diajarkan oleh gurunya nanti. ( Jarang bukan, ada anak seperti itu? Tentu saja. Ingin mencoba seperti itu? Silakan saja, tak ada yang melarang kokJ )
Sewaktu istirahat pun mereka tidak pergi ke Kantin, melainkan ke tempat rak-rak buku berbaris rapi yang siap menambah jendela ilmu mereka. Disana mereka mencari informasi mengenai betapa indahnya negeri ini. Mereka selalu terlihat bersama-sama, seakan-akan telah terekatkan oleh lem Rajawali (Seberapa kuatkah lem Rajawali? Hingga tak bisa melepaskan mereka? ). Demi mewujudkan suatu angan-angan yang sama itulah yang membuat mereka selalu bersama, saling tukar informasi, dan mensupport satu sama lain.
Ka dan Ci selalu melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain seperti, mengajari temannya yang masih belum mengerti pelajaran yang sudah dijelaskan gurunya. Sepulang sekolah mereka mempelajari apa yang telah mereka pelajari di sekolah tadi. Dan mengerjakan PR yang telah diberikan oleh gurunya. Ka selalu membantu adiknya, apabila Ci tidak bisa mengerjakan PR. Mereka terlihat sangat kompak dan rukun sekali.
Hari mulai terbang ke depan, tak terasa hari ahad pun jatuh ke tempatnya. Mereka menghabiskan hari ahad ini bersama-sama, walaupun hanya sekedar menikmati pemandangan sawah yang menghijaukan mata. Mereka sekeluarga, berjalan-jalan, berolahraga mengintari persawahan maupun perkebunan. Hingga saatnya istirahat tiba, mereka duduk di bawah rindangnya pohon besar sambil berbincang-berbincang sarapan roti selai dan susu.
“Lihatlah nak, begitu indahnya bentangan alam di depan mata kita ini!” suara Pak No terdengar.
“Iya Pak, sungguh elok pemandangan ini.” Jawab Ka.
“Kau tau, Nak? Mungkin di kota pemandangan ini akan sulit kau temui.”
“Iya Pak, aku tau itu. Aku pernah mendengar dari guruku, pemandangan yang biasa  kamu lewati hanya dengan mengayuh sepeda mungil, tak mungkin kamu bisa lakukan di perkotaan.”
“Kalian tau mengapa begitu?” Tanya bu Ry.
“Mungkin karena tempat hijaunya alam, jauh dari tempat tinggal mereka Bu?” Jawab Ka.
“Iya, benar. Itu termasuk salah satu alasannya.” Jawab ibu tercinta.
“Alasan lainnya apa, Bu?” Tanya si kecil Ci
“Coba jelaskan,Pak. Bapak kan yang lebih tau rinciannya?”
Kedua anaknya pun menunggu jawaban sang Bapak.
“Begini Nak, di perkotaan kan banyak sekali bangunan-bangunan besar. Karena bangunan tersebut, hijaunya alam yang ada di tempat itu pun tergerus. Jadi orang perkotaan pun sulit menikmati pemandangan seperti di depan kita ini.”
“Terus Pak, bangunan besar itu digunakan untuk apa? Mengapa harus dibangun jikalau dapat merusak alam?” Tanya Ci.
“Bangunan itu digunakan untuk mengurusi sebuah dokumen-dokumen penting (Kantor), pusat perbelanjaan (Mall), Restaurant, Kafe, dsb.”
“Bapak kan juga seorang pekerja perkantoran, berarti termasuk pemakai bangunan itu, dan bangunan yang Bapak pakai telah menggerus pemandangan hijau dong. Berarti Bapak termasuk penggerus pemandangan alam indah ini, begitu?” Sahut Ka.
“Ya bukan begitu juga sayang, bangunan besar itu juga ada yang bermanfaat positif dan juga negatif. Alangkah baiknya pemandangan alam yang kita miliki bisa mengimbangi bangunan-bangunan yang berdiri.”
“Oh begitu..” sahut kedua anaknya.
“Oleh karena itu, kalian anak-anakku tercinta sebagai Generasi Penerus Bangsa (GePeBa)  yang cinta akan bangsa ini harus bisa menjaga indahnya pemandangan alam yang telah ada. Jangan kalian rusak alam ini walaupun hanya sekedar membuang sepotong kertas kecil di sembarang tempat, mengerti?”
“Siap Pak, kami mengerti.” Jawab mereka kompak dan bersemangat.
Hari sudah semakin siang, mereka sekeluarga akhirnya pulang ke rumah. Dalam perjalan pulang mereka didampingi oleh hembusan angin dan hijaunya alam sekitar. Mereka bernyanyi riang sembari menikmati ciptaan-Nya. Dalam hati secara bersama-sama Ka dan Ci menngucapakan angan-angannya
“Kami Generasi Penerus Bangsa (GePeBa) harus bisa mejaga alam indah ini, agar kami tetap bertahan hidup makmur dan sejahtera. Karena alam hijau ini adalah sebagian dari paru-paru kami. Semangat wujudkan mimpi demi Bangsa Indonesiaku tercinta.”



Cerpen "CiKa Sang GePeBa" merupakan suatu karya yang sangat mengesankan bagiku. Karena untuk pertama kalinya cerpen karyaku termuat dalam sebuah buku yaitu "ASA DI UJUNG PENA". Hal ini memacu semangatku untuk menciptakan karya-karya tulis yang indah dan menarik. Terima kasih untuk semuanya yang telah membimbingku. Terima kasih SMAN 22 SURABAYA.

Cerpen Tema Politik

Batu di Kantor
Oleh : Yuniar Arij Puspita Ningrum
September 2015

Batu biasanya hanya diam di tempat, kecuali jikalau ada seseorang yang memindahkannya, baru bisa terlihat bergerak. Tetapi batu ini terus saja bergerak kesana-sini mencari sebuah celah tanpa didalang terlebih dahulu. Sekarang batu akik sangat mem-booming di kalangan masyarakat. Tetapi batu ini lebih cerdik mencari perhatian daripada batu akik. Apapun bisa dilakukan oleh batu ini.
***
Suatu hari keramaian kota terdengar olehku, jam menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku terburu-buru pergi ke kamar mandi.
“Lisa....Bangun!!! Sudah pagi, nanti kamu telat lho.” Sirine mamaku berbunyi nyaring.
Aku berlarian menuju ruang makan dengan seragam yang amat rapi. Kusambar sandwich yang tersedia di meja makan.
“Lisa, kalau mau makan duduk dulu.”
“Keburu telat, Ma.” Jawabku singkat, tak lupa berpamitan kepada kedua Raja dan Ratu istanaku.
“Hati-hati, Lisa.” Suara perhatian papaku melayang menuju telingaku.
“Iya, Papa.” Dalam hatiku berbicara.
Pak sopir sudah menunggu di dalam mobil. Akupun segera berangkat ke sekolah.
            Saat perjalanan menuju sekolah, sungguh sial bagiku, mobil berbaris tertib tanpa henti. Beraktivitas di perkotaan yang padat merupakan sebuah tantangan bagi kehidupanku. Jika tidak ingin terkena macet harus berangkat ke tempat tujuan sepagi mungkin atau naik kendaraan umum saja, Sekian lama aku menunggu akhirnya, mobilku berhenti juga di depan gerbang sekolah. Kulihat pak satpam hampir menutup gerbang jeruji (karena bentuk atas gerbangnya runcing, mencegah siswa yang akan membolos pelajaran). Akupun berlarian terburu-buru sambil berteriak seperti orang gila.
“Pak tunggu… Jangan ditutup dulu!” Teriakku membuat nafasku tertarik-tarik.
“Ahhh…Kamu ini kebiasaan, cepat masuk doanya mau dimulai.”
“Terima kasih, Pak.” Balasku dengan senyum.
Di Kelas.
“Terlambat lagi, Lis?” Tanya sahabatku Leni
“Sudah nanti aja aku ceritakan, berdoa dulu.” Sahutku masih dengan nafas tertarik-tarik.
Setelah berdoa selesai akupun bercerita kepada kedua sahabatku Leni dan Laili, sambil menunggu guru yang terjadwal mengajar di kelasku datang. Entahlah terkadang aku merasa heran kami para siswa sudah stay di TKP, tetapi gurunya masih menunggu doa selesai baru beranjak dari ruangannya.
“Tidur larut malam lagi ya, Lis?” Tanya Laili.
“Iyalah, kan sudah ada jadwal istimewa, menjadi supporter itu harus yang setia.”
“Seperti anak laki-laki saja kamu ini Lis, sukanya nonton pertandingan sepak bola.”
“Biarin, demi negeri tercinta ini, mengapa tidak?”
“Healah Lis..Lisa.” Ucap kedua sahabatku goyah.
Guru pengajarku pun datang ke TKP. Akhirnya pelajaran dimulai dengan damai dan tentram.

***
Di hari yang sama, di sebuah gedung tinggi.
“Selamat pagi, Pak.” Sapa seorang karyawan.
“Pagi, silahkan masuk.” Jawab pak Roy.
“Bagaimana? Apakah tugas yang saya berikan sudah selesai?”
“Sudah, Pak. Saya menyelesaikannya dengan sangat teliti.” (Sembari menyerahkan berkas-berkas ke tangan pak Roy).
“Oke, terima kasih.”
“Sama-sama, Pak. Permisi..” (Pergi meninggalkan ruangan).
            Pak Roy adalah seorang peminpin kantor anggota DPR. Ia dikenal seseorang, sebagai pemimpin yang baik, rajin, ulet, dan pekerja keras. Ia adalah Papa dari Lisa. Ia selalu sibuk dengan pekerjaan kantornya, jarang pulang ke rumah. Jikalau ia pulang, pasti ada buah tangan yang akan dibawanya.
Sore telah terbit, mama Lisa (bu Syaila) sibuk mempersiapkan makanan untuk suami tercinta dan anak kesayangannya yang telah usai dengan kesibukannya masing-masing. Hari ini adalah hari yang spesial bagi keluarga Lisa, karena pak Roy sedang ber-ulang tahun. Lisa dan kedua sahabatnya telah tiba terlebih dahulu. Mereka akhirnya ikut membantu mempersiapkan sebuah kejutan yang tak akan pernah terlupakan.
Beberapa menit kemudian, suara mobilpun terdengar. Saat pintu utama terdorong nyaring, terasa suasana yang sepi dan sunyi. Semua penghuni rumah telah bersembunyi kecuali pak Roy dan pak Satpam yang telah membukakan pagar rumah tadi. Papa berteriak ringan memanggil istri dan anak semata wayangnya, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Di halaman belakang rumah terdengar suara ketukan yang berulang-ulang. Pak Roy menghampiri suara ketukan tersebut dengan curiga dan was-was. Dan………….
“Kejutan!!!” Para pedemo keluar dari persembunyiannya.
“Selamat ulang tahun Papa.” Teriak Lisa menggema di udara.
“Terima kasih ya, kalian membuat saya takut saja.” Sahut pak Roy.
“Kenapa takut Om, sudah besar kok masih takut saja.” Gurau Leni mengena.
Semua tertawa gembira. Acara pun dilanjutkan memotong kue dan makan bersama.

***
            Hari Ahad jatuh ke posisi. Weekend pagi, Lisa menghabiskan waktunya untuk berolahraga sebentar di halaman depan rumah. Serasa sudah cukup ia kemudian sarapan pagi sembari menonton televisi.
“Hmmm.. Pagi-pagi acara beritanya sudah tak menyenangkan.” Gumam Lisa.
“Kenapa, Lisa sayang?” Tanya bu Syaila sambil menghampirinya.
“Ini lho Ma, korupsi makin menjadi.”
“Ouww.. Entah apa ya yang mereka harapkan.”
“Iya, Ma. Ganti channel acara MTMA (My Trip My Adventure) aja deh, lebih menarik.”
            Malam telah tiba, aku menyibukkan diri dengan tumpukan kertas berakhiran titik, tanda seru, dan tanda tanya. Mama melihat sinetron kesukaannya. Papa sibuk di ruang kerjanya. Semua anggota keluarga sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Jam berjalan cepat, sinar mataku mulai terasa hilang, tetapi tugasku pun belum saja usai. Kuputuskan pergi ke dapur membuat kopi hangat dan mie goreng. Mamaku sudah tidur manis di kamarnya. Papaku masih sibuk dengan kantor kecilnya. Terdengar di telingaku, Papa menelpon seseorang sambil marah-marah, mungkin ada sedikit kecerobohan yang dilakukan oleh karyawannya.

***
            Terdengar bisikan-bisikan lembut ditelingaku, aku terbangun. Kulihat jam menujukkan pukul 04.30 WIB. Angin sejuk meyelimutiku. Suara bisikan itu semakin nyaman kudengar. Akhirnya kuambil air wudhu, dan kulaksanakan shalat subuh. Setelah itu persiapan untuk kembali ke sekolah.
Di Sekolah.
“Hai, guys! “ Sapaku bersemangat.
“Hai, Lis. Tumben nggk terlambat lagi?” Tanya Laili, mengejek kebiasaanku.
“Ah.. kamu ini Lai, suka ya kalau aku datang terlambat terus dihukum.”
“Nggk lah Lis.” Sahut Leni menyakinkan bahwa ucapan tadi hanya bercanda.
“Tugasmu sudah selesai Lis?” Tanya Leni.
“Pastilah sudah, Lisa kan rajin mengerjakan PR. Walaupun kebiasaannya datang terlambat.” Sahut Laili.
“Lihat dong Lis?” Leni memohon.
“Tuh..kan. Aku tau kenapa Allah membisikkan ke telingaku supaya bangun pagi-pagi dan tidak terlambat. Sahabat tercintaku ini lagi butuh bantuan. Hehehehe…” Jawabku bergurau.
“Ah.. Kamu ini Lis bisa saja.” Sahut Laili.
“Baik banget deh Lisa ini, terima kasih.” Sahut Leni gembira dan memelukku.

***
Sore hari datang menghampiri rumahku, keadaannya sunyi dan sepi hanya hembusan angin yang mondar-mandir. Aku menelpon sahabat-sahabatku, meminta mereka bermain ke rumahku, supaya rumah ini bisa bersuara kembali.
Ting Tong…. (Bel berbunyi)
“Iya, sebentar.” Sahut bi Minah.
“Siapa, Bi?” Tanyaku dari kamar.
“Sahabat Non Lisa, sudah datang.”
“Oalah, iya Bi. Persilahkan masuk ke kamarku langsung.”
Di kamar Lisa.
“Hello Lis!” Sapa Leni.
“Kesepian cie, kasihan.” Ejek Laili.
“Aaahh kalian..” Jawabku tak bersemangat.
“Mama, Papa kamu kemana?” Tanya Laili.
“Nggk tau, akhir-akhir ini mereka sering keluar kota, katanya urusan pekerjaan. Aku ikut nggk boleh, alasannya kamu kan lagi sekolah belum libur panjang.”
“Benar kata mereka Lis, lagian juga mereka pergi urusan pekerjaan.” Sahut Leni.

***
Di suatu tempat.
“Bagaimana hal yang sangat penting ini bisa terbongkar?” Bentak seseorang dalam ruangan tersebut.
Para karyawan hanya terdiam membisu.
“Saya minta kalian tutupi semua masalah ini, jangan sampai masuk ke layar kaca. Mengerti?”
“Iya Pak, kami mengerti.”
            Aku merasa kecewa, hal rahasia yang telah direncanakan bersama-sama sedikit demi sedikit mulai terlihat. Karyawan kemarin sangatlah ceroboh menyembunyikan file yang telah ku minta. Sudah banyak hal ku habiskan menggunakan hasil rencana rahasia tersebut. Aku seperti akan jatuh ke tanah.
“Sabar sayang, semuanya akan baik-baik saja.”
“Aku tak yakin yang kau ucapkan itu benar, sayang.”
“Yakinlah semua akan baik-baik saja.”
“Aku takut, Ia akan marah kepada kita.”
“Akupun juga begitu takut. Tetapi bagaimana lagi, ini ada kesalahan kita, perlahan akan terungkap.”

***
            Sore hari yang cerah, kami berkumpul di rumah Leni untuk mengobrol santai. Mulai dari membicarakan hobi kami, pelajaran sekolah, hingga teka-teki yang kocak. Akupun memulai membicarakan kuis.
“Tau batu akik, nggk?”
“Tau, yang harganya berjuta-juta bintang di langit kan?” Jawab Laili.
“Hahaha.. bisa aja kamu Lai, memangnya bintang di langit itu berjuta-juta ya?” Sahut Leni.
“Kamu hitung saja sendiri.” Jawab Laili membuat Leni geram.
“Tapi aku tau batu yang lebih menarik lho..” Sahut Lisa meyakinkan.
“Batu apa, Lis?”
“Bayangan tuyul..Hihihi..”
“Aahh.. kamu ini Lis, bisa saja. Perasaan nggk ada kata-kata batunya deh.” Protes Leni kebingungan.
“Itu batu bukan menarik Lis, membuat merinding malahan.” Sahut Laili.
“Hahay.. memang nggk ada. Coba deh kamu ambil dua huruf dari kata ‘Bayangan’ dan dua huruf dari kata ‘Tuyul’ jadinya kata ‘Batu’ deh.” Pintarnya jawaban Lisa membuat kamar Leni tertawa dan merinding.
            Hari mulai malam, akupun kembali pulang ke istanaku. Saatku melintasi halaman rumah terasa angin sunyi berhembus tak menyapa, tak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam rumah ini. Seolah ada yang terusik, terhapus, terbuang kebahagian dalam rumah ini.
“Bi, mereka belum pulang?” Tanyaku.
“Nyonya sudah pulang, Non.”
“Ouww.. yasudah.”
            Aku merebahkan tubuhku ke sofa merah di ruang keluarga. Ternyata papaku masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Aku merasa papaku terlihat berbeda akhir-akhir ini. Segera ku singkirkan pikiran mengenai papaku. Ku aktifkan tombol di kotak bersinar. Aku melihat acara televisi kesukaanku ‘Berita Indonesia’. Banyak berita yang didengarkan ketelingaku dan diperlihatkan pada pandangan mataku, dari berita tentang ekonomi, budaya, kriminalitas, dan politik. Ada sesuatu yang membuatku terkejut seketika.
Breaking news, tersorot kamera ada sebuah penampakan bayangan tuyul di sebuah kantor. Diduga hal tersebut sudah lama dilakukan olehnya seorang pemimpin kantor anggota DPR, hanya saja pembuktian dapat mengungkapnya sekarang. Roy Irawan telah terbukti bersalah dari pemeriksaan yang telah dilakukan sore tadi hingga sekarang masih berlanjut. KPK telah menggeledah kantornya.”
Sontak aku terkejut, kecewa, marah, dan tidak menyangka hal tersebut dilakukannya. Mama yang berada dikamarnya segera lari keluar menghampiri suara jeritanku.
“Ada apa Lisa sayang? Ini sudah malam.”
“Mama, lihat deh berita itu.” Pintaku lirih tak berdaya.
“Pa..pa….” Ucap mama lirih tak menyangka dan kemudian terdiam.
“Lisa sayang, Mama minta maaf ya?” Ucap mama yang terdengar aneh bagiku.
“Untuk apa, Ma?”
Hening seketika…
“Mama tau semua ini sebelumnya?”
Hening kembali…
“Jawab, Ma?” Ucapku sambil menangis terisak tak menyangka.
            Akhirnya keheningan mamaku menjawab segalanya. Aku berlari menuju kamarku, mencoba menenangkan diri, bertanya-tanya apa alasan semua kejadian ini, tangisku memecah keheningan malam itu, hingga akupun tertidur dalam pelukan gulingku.

***
            Sebuah cahaya mencoba mencari celah untuk membangunkanku dari mimpi buruk semalam. Tetapi aku salah itu bukan mimpi, itu realita. Sebenarnya hari ini aku sekolah, tetapi aku takut kata-kata anak-anak akan masuk ketelingaku dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Leni dan Laili sahabatku. Ternyata papa sahabat mereka adalah sesosok batu di kantor yang telah diceritakannya. Tiba-tiba suara dari luar mengusir bayang-bayanganku tentang sekolah. Kulihat dari atas, beberapa seseorang ber-jas dan polisi menghampiri rumahku. Aku berlari turun mencari tahu apa yang mereka lakukan.
Dari kejauhan kulihat mereka.
“Apakah benar ini rumah Pak Roy Irawan?” tanya seorang polisi.
“Iya, benar.”
“Apakah Anda istrinya?”
“Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
“Apakah ini Anda?” (Menunujukkan sebuah foto seseorang yang sedang berlibur ke suatu tempat).
“I…iya.” Jawab mamaku seolah mengerti apa yang mereka inginkan.
“Mohon ikut kami!”
“Iya, Pak.” Jawab mamaku kembali, sambil menoleh kearahku dengan tatapan penuh penyesalan.
Aku hanya bisa terdiam dari kejauhan. Membiarkan mamaku dibawa oleh orang-orang tersebut. Hatiku terasa seperti tercambuk habis-habisan, tak menyangka sama sekali.

***
Hari-hari telah terbang meninggalkan kesuramannya. Aku pergi ke sebuah tempat yang akan mengingatkanku pada kejadian yang telah lalu. Sudah beberapa tahun aku menunggu mereka. Sudah beberapa tahun aku hidup dengan tekanan batin. Aku berterima kasih mereka masih menyayangiku. Mereka tidak menggunakan hasil batu (bayangan tuyul) tersebut untuk istana kami. Entah mereka melakukannya karena apa, mungkin tergiur oleh kertas (uang) atau terbius rayuan orang-orang yang telah mahir melakukannya.
“Lisa sayang…” Panggilan kesayangan penuh perhatian yang telah lama tak pernah tergantung dalam telingaku.
Aku berlari memeluk mereka.
“Ma..Pa.. Lisa kangen.” Ucapku menahan tangis dan memeluk mereka.
Kedua sahabatku menemaniku menjemput pulang orang tuaku. Pikiranku salah, mereka malah mengkhawatirkanku setelah kejadian malam itu. Aku beruntung sekali memilki mereka.
“Anakku sayang, maafkan Mama sama Papa ya?” Pinta kedua orang tuaku.
“Aku sudah memaafkan Mama sama Papa. Aku hanya ingin hal ini tidak akan terulang kembali.”
“Mama sama Papa tidak akan mengulanginya kembali, kami menyesal Lisa. Hanya demi kesenangan sementara kami lepaskan kasih sayang kepadamu selama beberapa tahun yang telah lalu. Kami menyesal karena kami tidak menyadari bahwa, kami adalah hamba Allah yang selalu di awasi.”
            Kamipun berpelukan kembali dengan perasaan yang sangat mengharukan dan mencoba melupakan scandal buruk ‘Batu di Kantor’. Aku menoleh kepada Leni dan Laili yang berada dari kejauhan, aku memanggil mereka. Mereka segera mendekat dan memelukku dengan hangat. Aku berterima kasih karena mereka selalu ada untukku. Aku juga bersyukur kepada Allah karena orang-orang yang kusayangi tetap bersamaku.

***
            Begitulah batu ini bergerak. Mempunyai rencana yang cerdik dan rahasia untuk mencari sesuatu yang bukan haknya. Masalahnya hanya bisa diselesaikan oleh KPK dan polisi beserta bukti-bukti yang terpecaya dan akurat. Sepantasnya batu ini dihukum sesuai kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan tak lupa setelah hukuman itu selesai batu ini akan berubah menjadi seseorang yang dermawan seutuhnya, yang terus ingat bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah SWT.