Jumat, 06 Desember 2013

IPS Sejarah Kelas IX

     Cara Diplomasi Yang Dilakukan Dalam Rangka Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

·         Pertemuan Soekarno – Van Mook
Pertemuan antara wakil-wakil Belanda dengan wakil Indonesia diprakarsai oleh Panglima AFNEI yaitu Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda Diwakili oleh Van Mook dan Van Der Plas.
Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Ir. Soekarno mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sedangkan Van Mook mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia si masa depan bahwa Belanda ingin menjalankan untuk indonesia menjadi negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan memasukkan Indonesia menjadi anggota PBB.
Tindakan Van Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Indonesia).

·         Pertemuan Sjahrir – Van Mook
Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 1946 di Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta (Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak sekutu diwakili oleh Letnan Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Van Mook , sedangkan pihak Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Sebagai pemrakarsa pertemuan ini, Christison bermaksud mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda disamping menjelaskan maksud kedatangan tentara Sekutu, akan tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil.




·         Perundingan Sjahrir – Van Mook
Untuk mempertemukan kembali pihak Indonesia, Pemerintah Inggris mengirimkan seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah.
Perundingan ini dilakukan pada tanggal 10 Februari 1946. Pada perundingan tersebut Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut :
·         Indonesia akan dijadikan Negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
·         Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri dijalankan pemerintah Belanda.

Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut :
·         Republik Indonesia harus diakui sebagai Negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
·         Federasi Indonesia – Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain sebagai berikut :
·         Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatera.
·         Supaya Republik Indonesia dan Belanda bekerja sama membentuk RIS.
·         RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi pesertadalm ikatan Negara Belanda.

·         Perundingan di Hooge Veluwe
Perundingan ini dilaksanakan pada tanggal 14-25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri Belanda), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan yang telah disepakati Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah :
·         Mr. Suwandi, dr.Sudarsono, dan Mr. A.K Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI.
·         Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr.Idenburgh, Dr.Van Royen, Prof.Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda.
·         Sir Archibald Clark Kerr mewakili sekutu sebagai penengah.
Perundingan yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil karena Belanda menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir – Van Mook – Clark Kerr di Jakarta.




·         Perundingan Linggarjati
Pemerintah Inggris masih memiliki perhatian besarterhadap penyelesaian pertikaian Indonesia – Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof. Schermerhorn.
Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Hasil kesepakatan yaitu antara lain sebagai berikut :
·      Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
·      Dibentuk sebuah komisi bersama genjatan senjata untuk masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda  diadakanlah perundingan Linggarjati yang diadakan pada tanggal 10 November 1946 di Linggarjati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. De Baer dan H.J. Van Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dengan anggotanya Mr. Moh Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr.Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Borddiarjo. Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn.
Hasil perundingan Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, yang isinya adalah sebagai berikut :
·      Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
·      Republik Indonesia dan Belanda akan kerjasama dalam membentuk NIS, dengan nama RIS, yang salah satu bagiannya adalah RI.
·      Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

·         Perundingan Renville
Perundingan ini diadakan diatas kapal pengangkat pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjong Priok, Jakarta.
Perundingan Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia dipimpim oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widdjojoatmodjo.
Isi perundingan Renville :
·      Pemerintah RI mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
·      Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari NIS.
·      Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan Khusus dengan NIS atau dengan Nederland.

·         Persetujuan Roem – Royen
Pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Bell mengumumkan tidak terikat dengan perundingan Renville dan dilanjutkan dengan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang Ibukota Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta.
Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commition for Indonesia atau UNCI). Komisi ini bertugas melancarkan perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda.
Pada tanggal 7 Mei 1949 Mr. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku ketua delegasi Belanda yang masing-masingnya memberikan pernyataan sebagai berikut :
1.        Pernyataan Mr. Moh Roem
·         Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
·         Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
·         Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2.      Pernyataan Dr. Van Royen
·         Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
·         Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
·         Tidak akan mendirikan atau mengakui Negara-negara yang berada di daerah –daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
·         Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari NIS.
·         Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.

·         Konferensi Meja Bundar (KMB)
Dilaksanakan di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Sebagai ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO dibawah pimpinan Sutan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Belanda dipimpin Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.
Pada tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan KMB adalah sebagai berikut :
·       Belanda mengakui kedaulatan kepada RIS pada akhir bulan Desember 1949, tepatnya pada tanggal 27 Desember 1949.
·       Mengenai Irian Barat pengakuannya ditunda setelah pengakuan kedaulatan.
·       Antara RIS dan kerajaan  akan diadakan Uni Indonesia-Belanda yang akan diketuai oleh Ratu Belanda.
·       Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.

·       Pembentukan Angkatan Darat Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.

Cr : ‎06 ‎Oktober ‎2013, ‏‎10:48:26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar